Manusia Diistimewakan Oleh Allah Karena Punya Kemampuan Untuk Bisa Memahami Agama
Bersama Pemateri :
Ustadz Abdullah Taslim
Manusia Diistimewakan Oleh Allah Karena Punya Kemampuan Untuk Bisa Memahami Agama adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Keutamaan dan Kemuliaan Ilmu. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abdullah Taslim, M.A. pada Kamis, 23 Dzulhijjah 1441 H / 13 Agustus 2020 M.
Ceramah Agama Islam Tentang Pembawa Wahyu Adalah Hamba Allah Yang Paling Mulia
Saat ini kita ada di pembahasan segi ke-52 tentang keutamaan ilmu, yaitu keistimewaan yang Allah berikan kepada manusia dengan ilmu (pembahasan halaman 83 pada kitab العلم : فضله وشرفه). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Anfal ayat ke-22:
إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِندَ اللَّـهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ ﴿٢٢﴾
“Sesungguhnya seburuk-buruk binatang melata di sisi Allah adalah orang-orang yang tuli, bisu, yang mereka tidak bisa memahami.” (QS. Al-Anfal[8]: 22)
Binatang ternak diberikan kemampuan untuk mendengar, bisa melihat, tapi tidak punya pemahaman agama. Manusia diistimewakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala karena punya kemampuan untuk bisa memahami agama, yakni menggunakan pendengarannya, penglihatannya, untuk diisi dengan ilmu. Oleh karena itu orang-orang yang tidak mengisi anggota tubuhnya ini dengan mempelajari ilmu agama, dia seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat. Itulah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam Al-Qur’an:
…أُولَـٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ…
“Mereka itu adalah seperti binatang-binatang ternak bahkan mereka lebih sesat lagi.” (QS. Al-A’raf[7]: 179)
Kemarin mungkin sudah pernah kita baca juga, ini berhubungan dengan apa yang pernah kita terangkan dari salah satu segi keutamaan ilmu yang kita baca di kitab ini. Penghuni neraka, ketika mereka telah masuk ke dalam neraka di akhirat nanti –na’udzubillahimindzalik– mereka menyesali karena dulu di dunia tidak memanfaatkan pendengaran, penglihatan dan hati mereka untuk belajar agama.
وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ ﴿١٠﴾
“Dan mereka berkata: ‘Seandainya dulu kami mau mendengarkan (yakni mendengarkan pelajaran agama, mendengarkan nasihat di dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih) atau mau mamahaminya, maka mestinya sekarang kami tidak menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Al-Mulk[67]: 10)
Jadi inilah, manusia diistimewakan ketika dia belajar agama. Karena Allah menciptakan pendengaran, penglihatan dan hati untuk diisi dengan ilmu.
…إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَـٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا ﴿٣٦﴾
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati manusia, semuanya nanti akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (QS. Al-Isra`[17]: 36)
Oleh karena itu hanya orang-orang yang mempelajari agama, berarti memanfaatkan nikmat yang Allah berikan kepadanya. Diberikan pendengaran untuk mendengarkan nasihat dari petunjuk Allah, penglihatan untuk membaca ayat-ayat Allah dan hati untuk memahami dan merenungkan petunjukNya, inilah yang benar-benar diberikan keistimewaan di dunia dan di akhirat nanti.
Saya akan lanjutkan di sini pembahasan yang disampaikan oleh Imam Ibnul Qayyim Rahimahullahu Ta’ala di segi keutamaan ilmu yang ke-52, kata beliau:
والسمع يراد به إدراك الصوت ويراد به فهم المعنى ، ويراد به القبول والإجابة
“Kata ‘mendengar’ terkadang dimaksudkan dalam bahasa Arab adalah bisa menangkap suara. Bisa juga diartikan memahami makna. Bahkan lebih daripada itu, kata ‘mendengarkan’ dalam bahasa Arab bisa berarti menerima dan memenuhinya.”
Dalam bahasa Indonesia kata-kata السمع diterjemahkan dengan mendengar. Tapi sebenarnya dalam bahasa Arab, penggunaan kata-kata mendengar itu termasuk ke dalam bahasa Indonesia juga. Tetapi bukanya hanya menggunakan telinga kita untuk mencapai suara, ada makna yang lebih dari pada itu.
Misalnya kita berkata kepada teman kita: “Nanti kalau dia bicara, jangan kau dengarkan,” bukan berarti kita perintahkan dia untuk menutup telinga. Tetapi maksudnya adalah tidak usah digubris ucapannya, tidak usah dihiraukan, anggap angin lalu saja. Jadi kata-kata “mendengar” di sini bukan sekedar menangkap suara yang disampaikan oleh orang. Dalam bahasa Arab pun seperti itu.
Jadi misalnya kita baca ayat Al-Qur’an di surat Al-Anfal ayat ke-23:
وَلَوْ عَلِمَ اللَّـهُ فِيهِمْ خَيْرًا لَّأَسْمَعَهُمْ…
“Seandainya Allah mengetahui ada kebaikan pada diri mereka (orang-orang munafik), maka niscaya Allah memudahkan mereka untuk mendengarkan.” (QS. Al-Anfal[8]: 23)
Sekarang orang-orang munafik bisa mendengar atau tidak? Tentu bisa, mereka punya pendengaran, mereka orang Arab yang paham bahasa Arab. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyampaikan Al-Qur’an, mereka mendengarnya atau tidak? Tentu mereka mendengar dan tahu artinya. Tapi karena mereka tidak bisa mengambil dengan hatinya, akhirnya mereka dikatakan tidak mendengar. Makanya orang-orang munafik disebutkan di awal-awal surat Al-Baqarah bagaimana?
صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ ﴿١٨﴾
“Mereka adalah orang-orang yang tuli, bisu dan buta.” (QS. Al-Baqarah[2]: 18)
Kira-kira mereka kalau untuk pengertian secara dzahir apakah benar-benar tuli? Tentu tidak, kan? Mereka bisa mendengar, mereka punya mata juga untuk melihat, tidak buta matanya, lidahnya juga bisa berbicara, tapi kenapa mereka disebutkan sebagai orang-orang yang cacat? Karena yang di hadapan Allah atau dinilai benar-benar panca inderanya itu bukan sekedar bisa berbicara. Kalau bicaranya adalah bicara yang tidak benar, bicaranya bicara yang kotor, bicaranya hal-hal yang bertentangan dengan petunjuk Allah dan RasulNya, maka ini dianggap bisu di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Makanya kata sebagian dari para ulama Salaf:
المتكلم بالباطل شيطان ناطق ، والساكت عن الحق شيطان أخرس
“Orang yang berbicara dengan batil, membicarakan hal-hal yang tidak benar, itu sama dengan setan yang sedang bercakap-cakap. Sebaliknya, orang yang diam tidak mau mengucapkan kebenaran, itu sama dengan setan yang bisu,” dua-duanya salah kalau tidak diisi dengan kebaikan dan kebenaran.
Maka kata Ibnul Qayyim di sini: “Mendengar terkadang dimaksudkan dalam bahasa Arab adalah bisa menangkap suara. Bisa juga diartikan memahami makna.”
Kalau ada yang mengatakan kepada kita: “Makanya kalau kamu belajar dengarkan baik-baik,” ini bukan berarti dia tidak mendengarkan. Tapi dia mendengarkan tanpa berusaha memahaminya, tidak menggunakan pikirannya atau tidak menggunakan hati untuk memahaminya. Di sini makna mendengar lebih dari sekedar menangkap suara, tetapi memahami makna.
Bisa juga bahkan lebih daripada itu, mendengarkan dalam bahasa Arab juga bisa berarti menerima dan memenuhinya. Ketiga makna ini tersebut di dalam Al-Qur’an.
Contohnya ketika kita i’tidal, bangkit dari ruku’, kita ucapkan:
سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ
“Semoga Allah mendengarkan orang yang memujiNya.”
Pasti Allah mendengarkan orang yang memujiNya, Allah Maha Mendengar. Tapi di sini bukan makna sekedar mendengar saja. Di sini ada makna mengabulkan. Yakni maksud ucapan kita adalah “Semoga Allah mengabulkan doa hamba yang memujiNya.” Makanya dalam i’tidal tadi kita memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan setelah itu kita sujud dan kita berdoa.
Bagaimana contoh-contoh penggunaan kata “mendengar” di dalam Al-Qur’an beserta maknanya? Mari download mp3 kajian dan simak penjelasan lengkapnya..
Download MP3 Kajian
Podcast: Play in new window | Download
Download mp3 kajian yang lain di mp3.radiorodja.com
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/48869-manusia-diistimewakan-oleh-allah-karena-punya-kemampuan-untuk-bisa-memahami-agama/